Skip to main content

ARKLONG


“Yea. Tunggu disini aja ah. Pas nih view-nya.”
Nyaman. Dipojokan ruang warung kopi yang tak begitu luas, sekitar 10x5 meter, kini kamu duduk diatas kursi kayu yang cukup halus. Dengan meja yang terbuat dari kayu pula. Warna kecoklatan keduanya, merangsang imajinasi lebih tenang, natural, karena warnanya yang kaya namun rendah diri. Pun di mejamu ada laptop yang menyala. Di monitor, kamu terpaku dengan tugas-tugas kuliah yang tengah menggelitik pikiran serta hatimu. Ada target untuk diselesaikan segera.
“Mas Azrul? Ini Tora Cafe cappucino angetnya.” Senyum pelayan warung kopi yang berkemeja lengan pendek putih, bawahan levis dongker, rambutnya rapi klimis silau terkena cahaya lampu yang tengah melayani pesanan kopimu. Senyumnya hangat, tenang melayani, dan rapi meletakkan kopimu di samping laptop.
“Oh iya makasih.” Jawabmu.
“Mari mas.” Izin dia untuk beranjak.
“Sebentar mas. Saya mau tanya. Kenapa seragam kemeja putih? Kerja pake baju putih toh bikin cepat kotor, apalagi kena kopi sewaktu-waktu.” Tanyamu.
“Hmmm apa ya? Penting gak sih mas.”
“Hehe ya gak penting sih. Tapi sebagai pelayan, obsesi kepelayanan tamunya kudu diprioritaskan dong hehe. Apapun itu selama masih dalam batas permintaan konsumen.”
“Eh iya bener mas Azrul.” Jawabnya mengiyakan pernyataanmu. “Tapi saya baru disini mas. Saya taunya seragam kerja warna putih dan dongker ini ya maklumat dari atasan sesuai ketentuan-ketentuan kinerja di warung kopi ini.”
“Oh gitu. Sini mas duduk, temenin saya sebentar sambil menunggu teman-teman saya.” Ajakmu dan si pelayan pun duduk disampingmu. “gini mas, biar saya kasih tau. Putih itu cerah, berlawanan dengan kegelapan. Juga pastinya nih, atasanmu sebagai boss, mungkin atau pasti, punya dedikasi untuk memajukan bisnis warung kopi ini tak sekedar mengumpulkan pundi-pundi uang. Husnudzdzan aja, atasanmu ingin mewarnakan hati dan jiwa konsumen-konsumen disini. Sebagaimana putih adalah ibu dari para warna yang dikenalnya sebagai pelangi. Indah kan. Hehe.” Terangmu dengan tangan melambai bak muncul pelangi dari tanganmu.
“Wih bisa aja nih mas Azrul hahaha.” Tawa si pelayan.
“Lalu bawahanmu ini, levis dongker. Dongker ini termasuk dari beberapa warna dari kegelapan. Tapi itu bagus. Kata siapa gak macthing atas cerah bawahan gelap? Justru itu bagus. Layaknya siang malam, ada cerah ada gelap. Keduanya ada, manusia tetap nikmat dalam menjalani hari. Coba kalau malam terus, atau siang terus, bisa saja manusia segera punah haha.”
“Haha eh boleh juga nih. Berarti keren ya saya mas. Perpaduan yang bagus dong style kerja ini.” lanjut percaya diri.
“Mantap mas. Bagus hehe.” Pujimu. “maaf ya barusan, saya pinjem waktu kerjanya bentar buat celoteh sejenak lah sembari menunggu teman-teman saya datang. Mas boleh balik kerja lagi kok. Khawatir di tegur atasanmu, berlama duduk disini kalau dilihat.” Usirmu secara tidak langsung, halus.
“Oh iya sih mas. Gak apa apa kok, kan kata mas tadi, kalau pelayan itu kudu melayani tamu. Saya toh ada pahala tersendiri. Yaitu ada silaturrahim sejenak sama mas.” Senyumnya menaggapi. “yaudah mas saya balik kerja dulu ya. Nanti kalau ada perlu bisa panggil saya lagi.”
“Siap.” Tegasmu menanggapi.
Kembali pada rutinitasmu. Kembali pada layar laptop. Jarimu pun mulai menari dayu diatas keyboard. Sesekali kopimu kau cumbu dan kau nikmati seiring pikiran dan hati berkonsentrasi. Telah lama sekitar dua puluh menit, dirimu masih saja istiqamah begitu.
Beberapa saat, telepon selulermu berdering. Tanda ada panggilan masuk. Ternyata si Gibran menelpon. Kau pun menerimanya.”
Bro, bedhe dimma? Engkok la depak re[1]. Saya sama Zahra.” Tanya Gibran.
“Masuk aja. Saya ada di dalam. Di pojokan sendiri.” Jawabmu.
“Oke.” Putus Gibran.
Akhirnya Gibran dan Zahra tiba. Tempatmu kini lebih ramai. Ya karena kini tak hanya dirimu sendiri. Tapi ditemani Gibran dan Zahra. Mereka yang kamu tunggu.
“Udah pesen kopi, kalian?” tanyamu.
“Sudah rul, tadi baru masuk, kita langsung pesen.” Jawab Zahra dengan wajah imutnya.
“Maaf ya rul, kita datang telat. Ini sih, si Zahra yang lama. Saya nungguin di luar kosnya, lama banget dia gak keluar.” Maaf si Gibran padamu. Karena memang keduanya ini adalah sepasang kekasih. Jadi maklum datang bersama.
“Iya gak apa apa. Sesuai pepatah, lebih baik menunggu dua puluh menit daripada ditunggu dua puluh menit kan hehe.” Responmu pada mereka. Walau sebenarnya kamu menyinggung atas keterlambatan mereka, apapun itu.
“Hehe maaf dong rul, gara-gara saya ini memang terlambat. Tapi ya biarlah ya, maklum kan namanya aja wanita. Selalu ada saja yang perlu prioriaskan di depan cermin hehe.” Lanjut si Zahra mengemukakan pembenaran atas wanita. Karena baginya, wanita selalu benar. Dan lelaki, kudu mengiyakan kalau dirinya salah atas wanita.
“Halah.” Singgung cuek pacarnya, Gibran. Dia sambil menghirup vape[2] dengan liquid rasa mangganya yang ia bawa. Lalu ia hembuskan dengan nikmat, sehingga asap yang dihasilkannya banyak dan menari-nari di udara. Lebih banyak dari asap rokok. Dan tercium harum mangga dan dingin dirasa.
Nyoba’a rul? Nyaman re[3].” tawar si Gibran padamu untuk mencoba merasakan vape miliknya.
Njek[4] rul. Aku gak pernah nyoba. Dan gak mau nyoba.” Jawabmu enggan mencobanya.
“Loh ini gak bahaya rul. Ini lebih ringan dan lebih baik dari rokok seperti biasanya.  Rata-rata orang yang make vape, mereka pun tobat dalam kebiasaan sebelumnya, merokok.” Tegas Gibran sambil menyodorkan vape- nya. Dia memang sebelumnya termasuk para warga perokok yang biasanya satu hari bisa menikmati dua hingga tiga bungkus rokok.
“Oh ya kok bisa begitu? Bukankah kau ini pecandu akan tuhan lima senti itu? Tobatkah saat ini?” tanyamu heran akan Gibran.
“Memang benar rul, rokok itu tuhan akan penyembah-penyembahnya. Hambanya yang berhasil menikmatinya, akan tenang, terbang, melayang hingga ma’rifat. Itulah candu hamba yang selalu bersandar pada tuhannya. Tanpa tuhan mereka hanya butiran asa dalam angan yang hambar.” Jelas Gibran.
“Lalu mana tuhanmu yang itu? Ini kah tuhanmu saat ini? tuhan millenal.” Tanyamu lagi mengklarifikasi lebih jelas akan tuhan yang dimaksud Gibran.
“Tuhanku tidak pindah, dia tetap disini.” Tunjuk tangan Gibran pada kepala bagian atasnya. “Tuhan itu Maha Baik, dapat menyelaraskan hasrat maupun sebagai penghibur ketika nafsu tak terbendung. Termasuk benda ini, tuhan millenial yang merayakan usia abadinya.” Mantap Gibran dalam mendiskripsikannya. Gibran juga pandai dalam bercanda dan bercandu dalam taman bermain pikirannya. Selaku mahasiswa semester tua yang sama denganmu, pastinya kamu telah kenal akan bagaimana ia berkembang. Karena dia toh bila ada yang ingin dia curah kan dia datang padamu.
“Tapi mengapa tidak kau konsisten kan saja pada Tuhan yang pribumi dan sarat dari tembakau itu sebelumnya? Bukankah itu lebih alami, dan ketika ia kau bakar pada ujungnya, api nya membara akan kenikmatan?! Bukan begitu?” ujarmu menanyakan lebih dalam soal perpindahan hobi merokoknya Gibran yang berubah hobi dengan mencumbu vape.
Gibran terus dan terus dengan nikmatnya menghirup dan menghembuskan dari ujung vape nya kepulan asap yang bearoma mangga ke langit dengan mendongak ke atas. Sesekali kepulan asapnya ia hembuskan ke sisi pacarnya, Zahra. Ia hembuskan dengan senyum dan tawa yang menggoda. Tanda kelelakiannya ia sombongkan depan wanitanya.
“Mmmmm.” Keluh Zahra tergoda namun sepertinya sedikit risih bila asapnya Gibran terlalu banyak dan mengepul pas di wajahnya.
“Aku menunggu jawabanmu Gibran.” Singgungmu ulang soal pernyataanmu yang kau ajukan tadi. Sambil kau seruput kopimu, hangat dengan wajah sok serius.
“Aku efisiensi aja sih rul. Ketika sebelumnya aku merokok, aku sering kali adanya lebih membunuh sekitar. Tau sendiri kan perokok aktif dan pasif lebih pada kasihan pada perokok pasif. Ia tak menikmati nikmatnya, namun hanya kebagian sakitnya tanpa tahu bagaimana nikmatnya merokok.” Jelas Gibran cukup logis. “seandainya nih, kalau aku merokok disini, justru aku sama saja menyakiti kamu dan Zahra, juga sekitar. Aku toh merasakan nikmatnya sebelum sakit, dan sekitarku merasakan sakitnya sebelum nikmat. Itu tidak adil. Mana kebersihan lingkungan juga nanti akan ternoda karena puntung-puntung dan abu rokok yang berkeliaran. Berbeda efek dengan ini.” terang Gibran sambil tertuju pada vape yang ia genggam di tangan kanannya.
“Perokok yang asyik.” Pujimu pada Gibran.
“Satu lagi rul.” Ujar Gibran mendesak.
“Apa?”
“Lebih baik aku me-mudharatkan diri sendiri tanpa menyakiti sekitar. Tapi sebenarnya lebih baik aku tidak mencicipi ini juga. Itu lebih baik bagi sekitar dan diriku sendiri. Kalau aku seperti ini terus habis fulus ku, gak bisa kencani Zahra lagi dong ahahaha.” Tawa Gibran sambil melirik Zahra.
Leter[5].” Respon Zahra cuek. Malu tapi mau. Kamu hanya tersenyum melihat keduanya bercanda. Seakan ingin juga memiliki pasangan untuk dicintai, tapi enggan bercinta.
 “Ini pesanan atas nama Gibran dan Zahra, satu Kopi Hitam dan satu Jus Apel. Benar mejanya disini?” tanya pelayan yang membawakan minuman Gibran dan Zahra. Pelayan itu adalah pelayan yang tadi pernah aku ajak celoteh bersama. Gibran langsung mengiyakan dan hanya senyum tertinggal untukku darinya tanda beranjak kembali pada aktifitas kerjanya. 
“Kok kamu tadi pesen jus sih? ceritanya kita ini ngopi. Ngopi ya minumannya kopi, eh malah jus.” Ledek Gibran pada Zahra.
“Loh terserah ya.” Zahra sambil minum jusnya karena ia terlihat haus sangat. “Ngopi itu tak selamanya harus kopi. Apapun minuman atau material suguhan yang ada di meja, itu tidak penting. Yang terpenting adalah esensi ngobrolnya. Sehingga disebutlah ngopi yang baik itu adalah ngobrol pintar. Bukan seperti disebelah ini.” ujar Zahra sambil menyinggung konsumen sebelahnya. Di meja sebelah ada lima orang duduk dan tanpa ada patah kata maupun cerita. Mereka fokus pada telepon seluler masing-masing dengan permainannya. Ada juga yang hanya fokus chatingan. Mereka hanya sebagian orang yang hanya mefungsikan fasilitas wifi gratis yang disediakan warung kopi ini sebagai salah satu fasilitasnya. Tanpa mengutamakan esensi dan etika dalam bertamu bersama kawan-kawan.
“Mesti gak mau salah.” Balas Gibran.
“Lalu bagaimana yang dimaksud dengan ngobrol pintar Zahra?” tanyamu pada Zahra.
“Ngobrol pintar sih sekedar istilah, sama halnya rumah sakit. Rumah sakit bukanlah rumah penuh penyakit dan tambah bikin sakit, namun sebaliknya. Orang-orang yang sakit disana, untuk disembuhkan oleh pakar-pakar kesehatan yang disebut dokter.” Jawab Zahra dengan nada pelan dan halus. Ia sambil memainkan tangannya untuk lebih meyakinkan dialektikanya yang lucu. “Ngobrol pintar pun begitu. Kita mengobrol ya berharap ada hasil tambahan wawasan dan pengetahuan untuk kita ketahui.”
“Mantap.” Balasmu. Zahra pun begitu. Masalah disuksi ataupun kajian, dia cukup cakap dan beretika dalam berdialog. Karena basic kependidikannya dalam kuliah mendapat nilai lebih pada keaktifannya sebagai aktifis kampus. Berbeda dengan kamu dan Gibran. Yang hanya mahasiswa semester tua, yang juga belum kunjung di wisuda. Sedangkan Zahra, tahun ini ia akan di wisuda strata sarjananya. Dia telah menyelesaikan strata sarjananya dalam kurun tiga setengah tahun.
“Hmmmm.” Katamu memulai. “sebenarnya ada yang aku rindu.” Kamu melanjutkan dengan seruput kopi hangat sekali lagi. Dan memecah celah keheningan sejenak diantara mereka.
“Sih kerrong sapa ee?[6] jawab Gibran meledek.
“Cewek ya rul?” jawab si Zahra perhatian.
“Aku kangen sensasi kampung halaman dan aroma hangatnya.” Balasmu singkat.
Telah lama waktu bergulir. Telah lama pula kesenjangan jarak ragamu dengan orang tuamu, jauh. Dua tahun kini kamu tak berjumpa dengan mereka. Dua tahun juga hatimu belum terjamah secara langsung oleh petuah-petuah bahkan omelan mereka yang gurih setiap harinya, setiap kamu berbuat hal yang dinilai salah oleh mereka. Mengapa dirimu?
“Mungkin hatiku tengah mendapat wahyu. Pertanda akan sesuatu yang cukup paradoks dengan realita. Rindu.” Ucapmu.
“Sama. Aku juga rul.” Jawab Zahra.
“Hmmmm.” Sambung Gibran. “Maklum. Kita lahir di daerah yang hangat akan persaudaraan dan juga kekeluargaan yang sarat akan nilai kasih sayang.” Sambung Gibran.
Benarkah? Aku butuh deskripsi akan hal itu Gibran. Aku butuh nostalgia dengan aroma daerah ku. Daerah kita juga. Hatiku membenam.” Ujarmu.
Gibran masih dengan vape-nya. Ia nikmat menghirup dan menghembuskan kepulan asap yang putih, tebal. Sebelum memulai kalimat-kalimatnya, ia lanjutkan dengan seruput kopinya, sejenak.
“Daerah kita ini memiliki ciri khas yang unik bin normatif, kawan.” Mulai Gibran. “Aku sih boleh ya menilai subjektif. Tapi mungkin ini sudah jadi wawasan bersama, kita ketahui. Tanah kita lahir, adalah hasil subur dari sayap malaikat yang di tanam didalamnya. Indah nan subur. Juga hasil kecupan dari malaikat tuhan yang merangsang kehangatan. Sehingga timbul kesejahteraan masyarakatnya. Bukankah sifat-sifat ini sudah banyak kita lihat dan rasakan di sekitar kita?.”
 Iya sih Gibran, majasmu cukup menjelaskan keadaan. Makasih atas pendapatmu. Aku cukup bisa menostalgia akan kampung halamanku, dalam asa.” Masih dirimu dibenam akan rindu.
“Azrul, lalu apa pendapatmu tentang tanah rindu yang sebagai kampung halaman kita dilahirkan dan dibesarkan? Aku udah cukup lama juga sih rul, tiga tahun belum pulang kampung.” Tanya Zahra sambil menatap dan kamu pun melihat kolam rindu di bola matanya. Zahra memang belum pernah pulang kampung mulai dari semester satu kuliah. Dia tak pulang karena memang diajarkan fokus dan terdidik dalam dunia pendidikan oleh orang tuanya. Masalah biaya hidup, Zahra termasuk bagian dari keluarga yang sangat mampu. Sehingga dia mampu untuk bertahan lama di kampung orang lain demi menimba ilmu.
“Aku berpendapat, bahwa Arklong adalah jiwanya Maraso.” Kamu memulai.
Guh, mak deiyeh hehe[7].”balas Gibran cukup kaget atas pernyataan awalmu.
Aih, apana se locoh[8].” Ucapmu pada Gibran sambil mencubit telinganya. Gibran pun berseru dengan tawa minta maaf.
“Lanjut dong rul. Kok kayaknya keren, Arklong adalah jiwanya Maraso. Hahaha jadi penasaran.” Sambut Zahra yang masih fokus dengan pernyataanmu. Dia pun penasaran untuk menyambutmu memulai deskripsi lebih lanjut.
“Oke sek[9].” Pintamu sejenak untuk menyeruput kopimu yang masih belum habis sebelum memulai. “Jiwa itu adalah roh. Ada yang bilang juga jiwa itu adalah nyawa. Dan jiwa itu ada di dalam tubuh, berbaur dan aktif mendukung bagian vital, khusunya bagian pikiran dan perasaan. Juga sebelum tubuh itu sendiri ada dan terbentuk, jiwa sudah lama sebelumnya ada dan diciptakan. Barulah ketika tubuh ada, maka jiwa dimasukkan didalamnya. Agar tubuh itu bisa hidup dan berproses. ” Lanjutmu.
Gibran dan Zahra kali ini cukup apresiatif mendengar deskripsimu. Terlihat dari Gibran kali ini tidak bermain dengan vape­-nya dan Zahra juga cukup menyimak dengan matanya yang lembut, fokus.
“Jadi, kaitannya daerah Arklong adalah jiwa pulau Maraso dengan deskripsi jiwa yang dimaksud kamu gimana rul?” Tanya Zahra.
“Masih ada sih kaitannya dengan pernyataan Gibran yang tadi soal deskripsi kota Arklong yang berbeda dengan yang lain. Arklong lebih dari sekedar itu. Menurutku, daerah kita ini adalah khas paling khas. Layaknya jiwa yang merupakan khas paling khas yang sangat terpenting bagi tubuh itu sendiri. Arklong punya peran penting bagi tubuh itu sendiri dan kalian pasti paham tubuh itu yang mana.” Jelasmu cukup dengan orasi yang baik.
Gibran dan Zahra cukup mengiyakan akan penjelasanmu dengan senyuman yang saling terukir di wajah masing-masing. Pertanda paham akan pernyataanmu sebelumnya. Dan tak ada bantahan maupun interupsi lagi.
Rindumu pun menggenang di kopimu yang kau seruput di tetes terkahir. Mungkin hal itu mengilhamimu akan betapa beratnya memikul rindu akan kampung halaman yang memiliki romansa kekal di hati.
Tak ada yang lebih lanjut untuk kamu melajutkan pernyataan tadi. Bagimu, Gibran dan Zahra sudah cukup. Untuk mengembalikan hati dan perasaan serta motivasi diri untuk yang terbaik saat berjuang  menimba ilmu. Semua teringat, darimana berangkat, bagaimana berjuang, dan bagaimana kembali dengan prestasi dan karya untuk kampung halaman. Ini soal rindu yang perlu dipertanggung jawabkan. Dan mereka pun mengakhiri forum, dengan doa yang dibalut rindu.
“Ada jiwa yang perlu selalu didoakan. Agar jiwa itu kuat menopang tubuh, dan memberi yang terbaik bagi tubuh. Untuk berproses yang terbaik. Dan menjadi simfoni semesta untuk menumbuhkan cerita dan cinta.” 




[1] Bro, ada dimana? Saya sudah sampai.
[2] Rokok elektrik
[3] Mau coba rul? Ini enak loh.
[4] Tidak.
[5] Gombal.
[6] Kangen siapa?
[7] Wah, kok gitu hehe
[8] Aih, apa yang lucu?
[9] Tunggu (jawa)

Comments

Popular posts from this blog

Ada si Cinta di Al-Amien Prenduan :D

Masjid Jami' Al-Amien Prenduan Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh! Dalam post kali ini saya bukan bermaksud untuk hanya mengenalkan Al-Amien Prenduan saja. Melainkan saya juga akan mengenalkan bagaimana karakter itu dibentuk dari sistem pendidikan. Ya itung-itung juga ada kaitannya dengan Al-Amien Prenduan. Tempat yang mana pernah penulis singgah beberapa tahun lalu. Karena si cinta ada disini, dan saya menuliskannya :) -Al-Amien Prenduan? kok bisa ada tempat seperti itu? Biar jelas dan pengen tahu sejarahnya sekilas bisa cek  di sini . :) -Kenapa penulis sekolah di Al-Amien Prenduan? Sebenarnya sih awal mula dulu sejak lulus SD, saya gak mau mondok. Ya mau sekolah di luar pada umumnya. Tapi Abi sendiri gak seutuju. Jadi saya pada saat itu ya di kelabuhi Abi yang mana saya diajak jalan-jalan wisata dan pada akhirnya diajak jalan ke Al-Amien Prenduan. Ya mana tahu kalo itu adalah pondok. Saya cuma liat-liat aja, cuek. Tapi lumayan tempatnya, adem. Disamping ...

Cerita Semalam

Indonesian x Malaysian Tibalah dipenghujung tahun ini, banyak hal terjadi. Banyak perasaan dikorbankan, banyak harapan diperjuangkan, banyak pengalaman layak untuk diceritakan. Kita bukan lah pembuat skenario atau cerita-cerita ini. Kita hanyalah tokoh yang memainkan peran masing-masing menurut apa yang diarahkan oreh sutradara terbaik dari yang terbaik, yaitu Allah. Protagonis, antagonis, melankolis, dramatis, dan berbagai unsur-unsur cerita lainnya turut mewarnasi cerita. Seperti cerita yang begitu saja tak terasa larut dalam waktu. “Sudah disiapkan passport -nya Qif?” “Aman bar.” Nanti kita berangkat bareng ke Bandara Juanda jam 03.00 WIB, biar gak telat keberangkatan pesawatnya.” “Okesiap.” Segala barang perlengkapan tengah disiapkan. Kantuk tiada lengah untuk ditahan. Bertahan hingga waktunya tiba berangkat ke Banda Juanda bersama Albar via Grab-car . Hingga tiba waktunya, kami pun berangkat bersama dari UINSA ke Bandara Juanda untuk melakukan boarding ...

ANIME & TSIQQIF (IYKWIM)

Rias Gremory Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!   Kali ini belum ada ide mau post apa yah. Yang ada cuma anime. kebetulan aja sih lagi hobi-hobinya berduaan sama anime. makanya saya nulis. Post kali ini saya buat karena ada beberapa pertanyaan dari teman-teman. Mereka menayakan “kenapa kok suka sama Anime?” pokoknya pertanyaan tersebut menjastis saya keheranan kali ya terhadap hobi saya yang Cuma mantengin kartun yaah yang gimana gitu (katanya) ???!!! twit dan dm ig dari teman Oke kita mulai  . . . First: Saya emang suka nonton kartun sejak kecil. Memang namanya aja masa kanak-kanak jelas identik dengan tontonan yang kaitannya dengan kartun. Sehingga menutrsi otak mereka untuk lebih berimajinasi. Dan saya juga gitu dulu. Jelas. Saya inget sekali kartun pertama yaitu Spongebob. Saya juga masih inget di chanel Lativi dulu saya tonton tiap hari noh Sponge-kuning. Setelah itu muncul berbagai kartun lainnya, Jimmy Neutron, BEN 10, Danny Phantom, d...